Senin, 14 November 2011

makalah Islam dan Optimisme


BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia saat ini sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat yang merdeka, akan tetapi belum dapat dikatakan sebagai masyarakat yang bebas akan ketertindasan, keterpurukan, kemiskinan, kebodohan dan lain sebagainya. Mengapa bisa demikian? Semua itu tidak lepas dari factor dalam diri manusia itu sendiri.
Sekarang marilah kita lihat masyarakat di belahan dunia lain seperti Jepang, Amerika dan Negara-negara lainnya. Jepang adalah Negara yang kuat dengan segala kekayaan, intelektual dan teknologinya. Jepang pada jaman dahulu merupakan negar penjajah, namun pada akhirnya harus menyerah kepada Negara penjajah dari barat karena hancurnya Nagasaki dan Hiroshima. Namun karena semangat dan optimisme yang kuat, Negara itu mampu berdiri kembali dengan tegak dan penuh keyakinan.
Optimism merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan dan kemajuan seseorang untuk menjalani hidupnya. Optimsme dapat menjadi kendaraan seseorang untuk menuju kesuksesan dan bahkan juga dapat menjadi kendaraan seseorang untuk menuju kepada ridho Allah SWT. Karena seseorang ataupun suatu kelompok masyarakat memang tidak akan terlepas dengan budaya dan agama (Allah SWT).

B.                 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan beberapa masalah berkaitan dengan optimism, yaitu :
a.         Apakah pengertian Optimisme?
b.         Bagaimanakah cara memunculkan rasa optimism dalam diri?
c.         Bagaimanakah pandangan Islam mengeai optimisme?

C.                Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis merumuskan tujuan penulisan sebagai berikut :
a.       Untuk memahami pengertian optimism.
b.      Untuk memgetahui cara menumbuhkan rasa optimism dalam diri.
c.       Untuk mengetahui mengenai pandangan Islam terhadap Optimisme.

BAB II
PEBAHASAN

A.  Pengertian Optimisme
Bila anda menanyakan kepada seseorang, “apakah anda optimis?” terhadap sebuah objek kehidupan, maka Anda  akan mendapatkan jawaban yang beragam. Ada yang mungkin akan menjawab “saya optimis”, “saya tak terlalu optimis”, atau sama sekali “saya tidak optimis”. Namun, ketika ditanyakan “apa itu optimisme?”, maka tak semua orang bisa merumuskan jawabannya dalam sebuah kalimat. Yang nyata, hanya bisa dirasakan maknanya dengan tepat di dalam hati, tapi tak dapat dirumuskan dalam sebuah alur kalimat.
Pada umumnya, umat islam memiliki harapan dan  keyakinan. Nah, keselarasan antara harapan dan keyakinan akan tercapainya harapan tersebut, itulah yang disebut dengan optimisme[1].
Umat islam tidak akan lepas oleh berbagai macam konsekuensi kehidupan, seperti penderitaan, kesedihan, kesulitan dan lain sebagainya. Umat islam juga tak akan lepas dari kegembiraan, kebahagiaan, kesenangan dan semacamnya. Dalam menjalani berbagai bayangan perasaan tersebut, umat islam tak lepas dari pertolongan Allah SWT. Itu merupakan sebuah keniscayan.
Untuk mendapatkan pertolongan dari Allah SWT, sebagai umat islam kita harus berusaha dengan segala keyakinan, disertai dengan do’a dan tawakkal kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

دَعَانِ إِذَا الدَّاعِ دَعْوَةَ أُجِيبُ قَرِيبٌ فَإِنِّي عَنِّي عِبَادِي سَأَلَكَ وَإِذَا يَرْشُدُونَ لَعَلَّهُمْ بِي وَلْيُؤْمِنُوا لِي فَلْيَسْتَجِيبُوا

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah 2 : 186)
Optimis salah satu kunci dalam setiap kesuksesan dan kemenangan. Seperti dalam cerita sejarah islam, Dalam berbagai medan peperangan pasukan muslim senantiasa kalah dalam hal kekuatan seperti jumlah tentara, fasilitas persenjataan, medis, dan sebagainya. Tetapi sejarah mencatat hampir di setiap peperangan selalu saja pasukan muslim meraih kemenangan. Jumlah pasukan yang sedikit sepertinya bukan menjadi penghalang bagi para mujahid dalam menaklukkan tentara tentara lawan. Sebut saja perang badar, uhud, Al Qodisiyah, penaklukan konstantinopel, Jerusalem semua bukti sejarah akan kejayaan mujahid islam dengan kemampuan yang jauh lebih kecil mampu mengalahkan kekuatan perang yang luar biasa besar.

B.  Menumbuhkan Rasa Optimisme
Allah SWT memang menghadirkan beragam peristiwa agar manusia mampu mengambil hikmah dan pelajaran yang terkandung dalam setiap peristiwa agar tingkat keimanan seseorang semakin bertambah. Tentunya hal ini akan terwujud bila manusia mempunyai benih kepercayaan akan kemudahan, kekuatan dan pertolongan Allah SWT sebagai pengatur setiap peristiwa di alam ini.
Peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim AS. untuk melaksanakan perintah Allah SWT menyembelih putranya tercinta Ismail adalah potret sejati seorang mu’min yang mempunyai kekuatan tawakal dan kepercayaan yang amat tinggi terhadap keputusan dan kekuatan pencipta-Nya. Itulah harapan dari ajaran Islam agar manusia yang beriman selalu bisa menempatkan possitive thinking kepada Allah SWT di dalam diri dan optimis dalam melaksanakan perintah ajaran-Nya.
Kepercayaan akan hal ini dalam pandangan Islam dikenal sebagai rasa tawakal. Semakin kuat kepercayaan ini, maka akan mempertebal sikap tawakal, dan akhirnya rasa optimis dalam diri semakin bertambah. Optimis memang berawal dari rasa tawakal kita. Rasa optimis haruslah mengalahkan pesimis yang bisa jadi menyelinap dalam hati. Untuk itulah jika ingin hidup sukses, kita harus bisa membangun rasa optimis dalam diri. Optimis yang dihasilkan dari rasa tawakal inilah yang menjadikan Rasulullah SAW beserta sahabat mampu memenangkan peperangan yang tercatat dalam sejarah dunia mulai dari perang Badar hingga peperangan di masa kekhalifan Islam sampai berabad-abad lamanya[2].
Ada beberapa hal yang dapat meninkatkan rasa optimisme dalam diri, antara lain sebagai berikut: 
1.      Temukan hal-hal positif dari pengalaman kita di masa lalu.
2.      Tata kembali target yang hendak kita capai.
3.      Pecah target besar menjadi target-target kecil yang segera dapat dilihat keberhasilannya.
4.      Bertawakallah kepada Allah setelah melakukan ikhtiar.
5.      Ubah pandangan diri kita terhadap kegagalan.
6.      Yakinkan kepada diri kita bahwa Allah SWT akan selalu menolong dan memberi jalan keluar.
Optimism juga mempunyai berbaai manfaat bagi diri kita. Optimisme sangat diperlukan dalam kehidupan kita sehari-hari guna mancapai sebuah kesuksesan dan keberhasilan dalam hidup di dunia dan di akhirat. Dengan adanya sikap optimistis dalam diri setiap Muslim, kinerja untuk beramal akan meningkat dan persoalan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik. Doa,  ikhtiar, dan tawakal harus senantiasa mengiringi, kerena hanya dengan kekuasaan-Nya apa yang kita harapkan dapat terwujud. Selain itu,   optimism  juga dapat  berpengaruh pada kesehatan.
Para ilmuwan telah membuat kesimpulan atas riset selama puluhan tahun tentang manfaat berpikir positif dan optimisme bagi kesehatan. Hasil riset menunjukkan bahwa seorang optimis lebih sehat dan lebih panjang umur dibanding orang lain apalagi dibanding dengan orang pesimis. Para peneliti juga memperhatikan bahwa orang yang optimistis lebih sanggup menghadapi stres dan lebih kecil kemungkinannya mengalami depresi. Berikut ini beberapa manfaat bersikap optimis dan sering berpikir positif.[3]
1.      Lebih panjang umur
2.      Lebih jarang mengalami depresi
3.      Tingkat stres yang lebih kecil
4.      Memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik terhadap penyakit
5.      Lebih baik secara fisik dan mental
6.      Mengurangi risiko terkena penyakit jantung
7.     Mampu mengatasi kesulitan dan menghadapi stres
Dengan memperhatikan manfaat-manfaat rasa optimisme di atas, maka diharapkan, umat islam dapat meningkatkan optimisme dan keyakinan dalam dirinya agar kehidupannya akan menjadi lebih baik.

C.  Pandangan Islam Terhadap Optimisme
Apa yang dimaksud dengan optimisme atau bersikap optimis? Optimisme merupakan sikap selalu mempunyai harapan baik dalam segala hal serta kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang menyenangkan. Optimisme dapat juga diartikan berpikir positif. Jadi optimisme lebih merupakan paradigma atau cara berpikir.
Bersikap optimis dalam islam adalah wujud keyakinan hamba kepada RobbNya,sebagai hamba Allah kita tidak boleh merasa rendah diri karena kita punya Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu lagi Maha Pemberi.
Dalam surat Ali Imran ayat 139 ”Janganlah kamu bersikap lemah (pesimis), dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamu adalah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang -orang yang beriman”.
Bertolak belakang dengan optimisme, pandangan pesimistis akan menganggap kegagalan dari sisi yang buruk. Umumnya seorang pesimis sering kali menyalahkan diri sendiri atas kesengsaraannya. Ia menganggap bahwa kemalangan bersifat permanen dan hal itu terjadi karena sudah nasib, kebodohan, ketidakmampuan, atau kejelekannya. Akibatnya, ia pasrah dan tidak mau berupaya.

:وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّه صَلَّى النَّبِيُّ قَالَ: قَالَ عَنْهم اللَّه رَضِي هُرَيْرَةَ أَبِي عَنْ  ..... ذَكَرَنِي إِذَا مَعَهُ وَأَنَا بِي عَبْدِي ظَنِّ عِنْدَ أَنَا:تَعَالَى اللَّهُ يَقُولُ

Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda : Allah berfirman “ Aku tergantung persangkaan hambaKu pada diri-Ku, dan Aku bersamanya apabila ia mengingatKu “. (Shahih Bukhori, Hadits No. 6856)
Allah itu sesuai dengan persangkaan hambaNya. Jika seseorang sudah tidak percaya pada dirinya sendiri, merasa tidak mampu, selalu ragu- ragu, maka kemungkinan besar itulah yang akan terjadi. Akan tetapi jika kita yakin kita bisa dan mau mencoba dengan usaha yang optimal maka insya Allah dengan pertolongan Allah kita akan bisa mencapai hasil yang terbaik, bahkan kadang-kadang terasa tidak masuk akal sebelumnya. Ketika alam pikir kita mengatakan kita tidak mampu maka seluruh organ-organ tubuh kita juga akan merespon sama.
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. "(QS.Al Hujuraat:15)
Dasar dari sikap optimis umat Islam berakar dari keimanan yang ada di dalam dada. Selama 13 tahun Nabi Muhammad SAW berdakwah di Mekah, beliau memfokuskan dakwahnya kepada keimanan atau tauhid. Baru kemudian di Madinah mulai menyentuh syariat-syariat dalam Islam. Mengapa iman begitu penting? Karena imanlah yang mengarahkan segala perilaku manusia. Ia adalah penuntun menuju keikhlasan dan sikap ihsan. Manusia yang beriman akan berbeda dengan orang yang tidak beriman. Orang yang beriman, tidak akan ragu untuk berjihad, melakukan kebaikan meskipun tidak dilihat orang karena dia yakin Allah melihatnya dan akan memberikan balasan kepadanya. Ia yakin bahwa Allah sedang menguji kesabarannya untuk menjadikannya lebih kuat.
Semua keberhasilan berasal dari keyakinan bahwa kita bisa melakukannya. Untuk selanjutnya perlu disusun planning yang matang dan usaha yang maksimal dalam proses yang dilakukan untuk mencapai target atau tujuan yang diinginkan. Sebagai contoh, dahulu karena Rasulullah dan para sahabat yakin bisa merubah peradaban dengan peradaban Islam, meskipun dengan berbagai kekurangan pada awalnya baik harta, pengikut, maupun sarana yang lain, tetapi dengan keyakinan yang kuat dan usaha yang optimal, juga doa yang senantiasa terpanjat, Islam bisa memegang peradaban.

BAB III
KESIMPULAN
Optimis merupakan keyakinan diri dan salah satu sifat baik yang dianjurkan dalam islam.Dengan sikap optimis,seseoarng akan bersemangat dalam menjalani kehidupan,baik demi kehidupan di dunia maupun dalam menghadapi kehidupan akhirat kelak. Optimisme juga dapat  dikatakan sebagai keselarasan antara harapan dan keyakinan akan tercapainya harapan tersebut.
Ada beberapa hal yang dapat meninkatkan rasa optimisme dalam diri, antara lain sebagai berikut: 
1.      Temukan hal-hal positif dari pengalaman kita di masa lalu.
2.      Tata kembali target yang hendak kita capai.
3.      Pecah target besar menjadi target-target kecil yang segera dapat dilihat keberhasilannya.
4.      Bertawakallah kepada Allah setelah melakukan ikhtiar.
5.      Ubah pandangan diri kita terhadap kegagalan.
6.      Yakinkan kepada diri kita bahwa Allah SWT akan selalu menolong dan memberi jalan keluar.
Bersikap optimis dalam islam adalah wujud keyakinan hamba kepada RobbNya,sebagai hamba Allah kita tidak boleh merasa rendah diri karena       kita punya Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu lagi Maha Pemberi. Jadi, sebagai muslim yang baik, kita harus senantiasa optimis dalam menghadapi kehidupan ini. 

Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan terjemahnya. Yayasan As-Shofwa: Jakarta
http://history22education.wordpress.com/2011/01/01/lima-cara-agar-lebih-optimistis/
Izah, Optimisme dalam islam dan manfaatnya bagi kesehatan, http://izahiah.blogspot.com/2010/09/optimisme-dalam-islam-dan-maanfaatny.html
Nindyatman, Aditya, Optimisme: cermin pribadi seorang muslim, http://pks-sidoarjo.org/tausiyah-ketua-dpd/optimis-cermin-pribadi-seorang-muslim-2.htm
Syihab, Quraisy. Do’a dan optimism. http://www.sudeska.net/2010/01/05/quraish-shihab-do%E2%80%99a-dan-optimisme/


[1]Quraisy syihab, Do’a dan optimisme, http://www.sudeska.net/2010/01/05/quraish-shihab-do%E2%80%99a-dan-optimisme/
[2] Aditya nindyatman, Optimisme: cermin pribadi seorang muslim, http://pks-sidoarjo.org/tausiyah-ketua-dpd/optimis-cermin-pribadi-seorang-muslim-2.htm
[3] Izah, Optimisme dalam islam dn manfaatnya baagi kesehatan, http://izahiah.blogspot.com/2010/09/optimisme-dalam-islam-dan-maanfaatny.html

makalah resiliensi


BAB I
PENDAHULUAN
Pada masa seperti sekarang ini banyak sekali trjadi berbagai fenomena mengenai kehidupan yang sungguh sangat menyayat hati. Seperti kasus bunuh diri yang terjadi beberapa tahun terakhir. Pada umumnya bunuh diri banyak dilakukan oleh kalangan remaja dengan modus “putus cinta”, “hamil diluar nikah”, “tidak lulus ujian” dan masih banyak lagi. Belum lagi kasus-kasus lainnya yang terjadi akibat depresi.
Sebenarnya, kasus-kasus seperti ini tidak perlu terjadi apabila masyarakat mengenal apa yang disebut dengan “Resiliensi Diri”. Nah, untuk itu lami akan engkaji lebih dalam mengenai beberapa hal berkaitan dengan hal di atas, yaitu:
1.      Apakah pengertian Resiliensi?
2.      Bagaimana pandangan mengenai resiliensi?
3.      Apa sajakah factor-faktor resiliensi?
4.      Bagaimanakah karakteristik manusia yang resilien?
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka kami akan membahas hal-hal di atas secara terperinci pada bab berikutmya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.    Pengertian Resiliensi
Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Secara spesifik, ego-resilience adalah:
“… a personality resource that allows individual to modify their characteristic level and habitual mode of expression of ego-control as the most adaptively encounter, function in and shape their immediate and long term environmental context. (Block, dalam Klohnen, 1996, hal.45)[1].
Dari definisi yang dikemukakan di atas, nampak bahwa ego resiliensi merupakan satu sumber kepribadian yang berfungsi membentuk konteks lingkungan jangka pendek maupun jangka panjang, di mana sumber daya tersebut memungkinkan individu untuk memodifikasi tingkat karakter dan cara mengekspresikan pengendalian ego yang biasa mereka lakukan[2].
Sebagai salah satu kajian dalam ilmu budaya dasar, resiliensi mempunyai dampak yang signifikan dalam pelestarian budaya yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Budaya sering dikaitkan dengan kata kebudayaan yang secara umum dapat didefinisikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.[3] Resiliensi sebagai salah satu nilai dalam masyarakat yang kemudian menjadi bagian dari pada diri anggota masyarakat akan berdampak positif bagi perkembangan manyarakat tersebut. Perkembangan tersebut akan berjalan beriringan dengan kemampuan mempertahankan nilai resiliensi tersebut dalam masyarakat.
Resiliensi adalah kemampuan atau kapasias insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkan untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan merubah kondisi yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. yang sangat dibutuhkan dalam setiap orang[4].
Grotberg (1995: 10) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Hal senada diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (1999: 26), bahwa resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.

2.    Pandangan Terhadap Resiliensi
Ada beberapa pandangan dalam resiliensi. Pandangan tersebut antara lain;
a.       Resiliensi sebagai kemampuan adaptasi
Joseph (dalam Isaacson, 2002) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan.
b.      Resiliensi sebagai kemampuan bangkit kembali dari tekanan
Dugall dan Coles (dalam Isaacson, 2002) menyatakan bahwa resiliensi adalah kapasitas seseorang untuk melambung kembali atau pulih dari kekecewaan, hambatan, atau tantangan. Rutter (dalam Isaacson, 2002) melihat individu yang resilien sebagai mereka yang berhasil menghadapi kesulitan, mengatasi stres atau tekanan, dan bangkit dari kekurangan. Resiliensi didefinisikan oleh Wolin dan Wolin (1999) sebagai proses tetap berjuang saat berhadapan dengan kesulitan, masalah, atau penderitaan.
c.       Resiliensi terlihat dalam suatu keadaan dimana seseorang memiliki resiko besar untuk gagal namun ia tidak (gagal).
Rhodes dan Brown (dalam Isaacson, 2002) menyatakan bahwa anak-anak yang resilien adalah mereka yang beresiko memiliki disfungsi psikologis di masa yang akan datang akibat peristiwa hidup yang menekan, tetapi ternyata pada akhirnya mereka tidak memiliki disfungsi tersebut. Contohnya, tidak semua anak yang putus sekolah gagal mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, tidak semua remaja nakal menjadi pelaku kriminal di masa dewasanya, dan sebagainya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi masalah yang sedang dialami yang membuatnya tertekan dan terjatuh dan berusaha bangkit kembali dari ketertekanan itu.
3.    Faktor-Faktor Resiliensi

Berdasarkan Grotberg (1995: 15) ada tiga kemampuan atau tiga faktor resiliensi yang membentuk resiliensi. Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah ‘I Have’. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah ‘I Am’, sedangkan untuk kemampuaninterpersonal digunakan istilah’I Can’[5].
a.      I Am
Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri seseorang. Faktor I Am terdiri dari beberapa bagian antara lain; bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai dan sikap yang menarik, individu dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan, mencintai, empati dan altruistic, yang terakhir adalah mandiri dan bertanggung jawab.
Berikut ini, akan dijelaskan satu persatu mengenai bagian-bagian dari faktor I Am.
Bangga pada diri sendiri; individu tahu bahwa mereka adalah seorang yang penting dan merasa bangga akan siapakah mereka itu dan apapun yang mereka lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkan mereka. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.
Perasaan dicintai dan sikap yang menarik; Individu pasti mempunyai orang yang menyukai dan mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. Bagian yang lain adalah dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan. Individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang lain dan institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar maupun salah, dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai spiritual yang lebih tinggi.
Mencintai, empati, altruistic; yaitu ketika seseorang mencintai orang lain dan mengekspresikan cinta itu dengan berbagai macam cara. Individu peduli terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan mengekspresikan melalui berbagai perilaku atau kata-kata. Individu merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk menghentikan atau berbagi penderitaan atau memberikan kenyamanan.
Bagian yang terakhir adalah mandiri dan bertanggung jawab. Individu dapat melakukan berbagai macam hal menurut keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi dan perilakunya. Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.
b.      I Have
Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi.
Sumber-sumbernya adalah memberi semangat agar mandiri, dimana individu baik yang independen maupun masih tergantung dengan keluarga, secara konsisten bisa mendapatkan pelayanan seperti rumah sakit, dokter, atau pelayanan lain yang sejenis.
Struktur dan aturan rumah, setiap keluarga mempunyai aturan-aturan yang harus diikuti, jika ada anggota keluarga yang tidak mematuhi aturan tersebut maka akan diberikan penjelasan atau hukuman. Sebaliknya jika anggota keluarga mematuhi aturan tersebut maka akan diberikan pujian.
Role Models juga merupakan sumber dari faktor I Have yaitu orang-orang yang dapat menunjukkan apa yang individu harus lakukan seperti informasi terhadap sesuatu dan memberi semangat agar individu mengikutinya.
Sumber yang terakhir adalah mempunyai hubungan. Orang-orang terdekat dari individu seperti suami, anak, orang tua merupakan orang yang mencintai dan menerima individu tersebut. Tetapi individu juga membutuhkan cinta dan dukungan dari orang lain yang kadangkala dapat memenuhi kebutuhan kasih sayang yang kurang dari orang terdekat mereka.
c.       I Can
Faktor I Can adalah kompetensi sosial dan interpersonal seseorang. Bagian-bagian dari faktor ini adalah mengatur berbagai perasaan dan rangsangan dimana individu dapat mengenali perasaan mereka, mengenali berbagai jenis emosi, dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan tingkah laku namun tidak menggunakan kekerasan terhadap perasaan dan hak orang lain maupun diri sendiri. Individu juga dapat mengatur rangsangan untuk memukul, ‘kabur’, merusak barang, atau melakukan berbagai tindakan yang tidak menyenangkan.
Mencari hubungan yang dapat dipercaya dimana individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal.
Sumber yang lain adalah keterampilan berkomunikasi dimana individu mampu mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengar apa yang orang lain katakan serta merasakan perasaan orang lain.
Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain dimana individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi.
Bagian yang terakhir adalah kemampuan memecahkan masalah. Individu dapat menilai suatu masalah secara alami serta mengetahui apa yang mereka butuhkan agar dapat memecahkan masalah dan bantuan apa yang mereka butuhkan dari orang lain. Individu dapat membicarakan berbagai masalah dengan orang lain dan menemukan penyelesaian masalah yang paling tepat dan menyenangkan. Individu terus-menerus bertahan dengan suatu masalah sampai masalah tersebut terpecahkan.

4.    Karakteristik Individu yang Resilien
Menurut Wolin dan Wolin (1999), ada tujuh karakteristik utama yang dimiliki oleh individu yang resilien. karakteristik-karakteristik inilah yang membuat individu mampu beradaptasi dcngan baik saat mcnghadapi masalah, mengatasi berbagai hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Masing- masing karakteristik ini memiliki bentuk yang berbeda-beda dalam tiap tahap perkembangan (anak, rcmaja, dcwasa)[6].
a.    Insight
Kemampuan untuk memahami dan memberi arti pada situasi, orang-orang yang ada di sekitar, dan nuansa verbal maupun nonverbal dalam komunikasi, individu yang memiliki insight mampu menanyakan pertanyaan yang menantang dan menjawabnya dengan jujur. Hal ini membantu mereka untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.
b.   Kemandirian
Kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain. Orang yang mandiri tidak bersikap ambigu dan dapat mengatakan “tidak” dengan tegas saat diperlukan. Ia juga memiliki orientasi yang positif dan optimistik pada masa depan.
c.    Hubungan
Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, ataupun memiliki role model yang sehat. Remaja mengembangkan hubungan dengan melibatkan diri (recruiting) dengan beberapa orang dewasa dan teman sebaya yang suportif dan penolong. Pada masa dewasa, hubungan menjadi matang dalam bentuk kelekatan (attaching), yaitu ikatan personal yang menguntungkan secara timbal balik dimana ada karakteristik saling memberi dan menerima.
d.   Inisiatif
Individu yang resilien bersikap proaktif, bukan reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan mereka menghadapi hal-hal yang tak dapat diubah. Mereka melihat hidup sebagai rangkaian tantangan dimana mereka yang mampu mengatasinya. Anak-anak yang resilien memiliki tujuan yang mengarahkan hidup mereka secara konsisten dan mereka menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk berhasil di sekolah.
e.    Kreativitas
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat keputusan yang benar.
Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan. Anak yang resilien mampu secara kreatif menggunakan apa yang tersedia untuk pemecahan masalah dalam situasi sumber daya yang terbatas. Selain itu, bentuk-bentuk kreativitas juga terlihat dalam minat, kegemaran, kegiatan kreatif dari imajinatif.
f.     Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Seseorang yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa humor membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan.
g.    Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan. Moralitas adalah kemampuan berperilaku atas dasar hati nurani.
Potensi untuk menjadi individu yang resilien ada dalam diri setiap orang. Namun, diperlukan dukungan dari keluarga, sekolah, dan komunitas, agar individu dapat mewujudkan potensi resiliensinya (Benard, 2004).
Secara umum, resiliensi bermakna kemampuan seseorang untuk bangkit dari keterpurukan yang terjadi dalam perkembangannya. Awalnya mungkin ada tekanan yang mengganggu. Namun orang-orang dengan resiliensi tinggi akan mudah untuk kembali ke keadaan normal.
Orang yang resilien lebih mudah dalam mengatur regulasi emosi. Mereka cepat memutus perasaan yang tak sehat, yang kemudian justru membantunya tumbuh menjadi orang yang lebih kuat. Mereka menjadi contoh atas apa yang pernah disampaikan oleh Wilhelm Nietzsche’s : “That which does not kill me, makes me stronger”. “Apa yang tidak membunuh saya, justru akan makin menguatkan saya.”BAB III
KESIMPULAN
Resiliensi adalah kemampuan atau kapasias insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkan untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan merubah kondisi yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. yang sangat dibutuhkan dalam setiap orang.
Ada beberapa pandangan dalam resiliensi. Pandangan tersebut antara lain; Resiliensi sebagai kemampuan adaptasi, resiliensi sebagai kemampuan bangkit kembali dari tekanan, resiliensi terlihat dalam suatu keadaan dimana seseorang memiliki resiko besar untuk gagal namun ia tidak (gagal).
Berdasarkan Grotberg (1995: 15) ada tiga kemampuan atau tiga faktor resiliensi yang membentuk resiliensi. Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah ‘I Have’. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah ‘I Am’, sedangkan untuk kemampuaninterpersonal digunakan istilah’I Can’[7].
Ada tujuh karakteristik individu yang resilien, yaitu individu yang memiliki aspek  insight, kemandirian, hubungan, inisiatif, kreativitas, humor dan moralitas.
Daftar Pustaka
Arya. Resiliensi. http://belajarpsikologi.com/pengertian-resiliensi/
Chandra, Silvia. Resiliensi. http://rumahbelajarpsikologi.com / index.php/resiliensi.html
Sekarini, Rima. Aku Bisa Bertahan dan Bangkit Kembali : Resiliensi Diri. http://rimuu.wordpress.com/2010/05/26/aku-bisa-bertahan-dan-bangkit-kembali-resiliensi-diri/
Widagno, Djoko dkk. Ilmu Budaya Dasar. 1994. Jakarta: Bumi Aksara



[1] Silvia Chandra, Resiliensi, http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/resiliensi.html
[2] Ibid.,
[3] Djoko Widagno, dkk, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, hal. 21
[4] Arya, Resiliensi, http://belajarpsikologi.com/pengertian-resiliensi/
[5] Ibid.,
[6] Rima Sekarini, Aku Bisa Bertahan dan Bangkit Kembali : Resiliensi Diri, http://rimuu.wordpress.com/2010/05/26/aku-bisa-bertahan-dan-bangkit-kembali-resiliensi-diri/
[7] Ibid.,